Diawal kampanye pemilih presiden Amerika Serikat, ada seorang pakar yang membandingkan Hilary Clinton dan Donald Trump. Pemilihan presiden ini adalah pertarungan antara kapal tanker besar dan bajak laut Somalia. Kekalahan kapal besar tersebut dikarenakan kalah melawan speedboat sosial media. Kampanye Hillary Clinton hanya mengandalkan kader – kader dan relawan yang mendatangi para pemilih untuk menyampaikan program, visi, dan misi melalui data – data. Tetapi, beliau tak berkampanye dengan turun langsung ke lapangan. Hal ini berbeda yang dilakukan oleh Trump. Beliau mulai mengunjungi negara – negara bagian dengan intens  walaupun mendapatkan penolakan untuk menarik simpatik masyarakat dan menggerakkan sosial media.

Dengan isu rasis dan imigran yang seringkali dicetuskan di setiap kampanyenya, Donald Trump mampu membangkitkan warga Amerika yang tak suka dengan kedatangan para imigran gelap. Untuk mempengaruhi pendapat dan pilihan warga, Trump dan kader – kadernya mulai bergeriliya melalui media sosial entah itu Instagram, Twitter, Facebook, Google+, dan lain – lain. Cara ini bisa dibilang efektif untuk menjungkalkan Hillary Clinton yang digadang – gadang memenangkan pemilihan presiden Amerika. Terlebih lagi, isu penghapusan email yang dilakukan Clinton juga menjadi topik hangat di media sosial yang dimanfaatkan oleh pihak Trump untuk membully Hillary Clinton. Jurus terakhir Hillary sudah tak mempan untuk mengatasi dahsyatnya tenologi digital dan sosial media yang dilakukan oleh Trump karena Hillary sudah terlambat menyadarinya.

See also  Smartphone Canggih Dengan Dua Sisi Layar Akan Dikembangkan Pihak Samsung di Masa Depan